Pages - Menu

Senin, 28 April 2014

PEGON, HURUF SANDI YANG PUNAH

PEGON, HURUF SANDI YANG PUNAH

Huruf Pegon mengambil namanya dari kataPego yang berarti menyimpang, karena menggunakan abjad Arab (Hijaiyah) untuk menuliskan bahasa Jawa atau Sunda. Sedang dalam bahasa Bausastra, kata Pegon berarti tidak murni. Berbeda dengan huruf Gundul atauGundhilPegon sejatinya adalah huruf konsonan sebelum digandeng dengan huruf vokal atau sandangan huruf lainnya. Penggunaan huruf vokal ini bertujuan untuk menghindari kerancuan dengan bahasa Melayu yang tidak terlalu banyak memakai kosakata vokal.
Huruf Pegon sendiri diyakini dikembangkan pada tahun 1400an oleh Sunan Ampel, atau dalam teori lainnya dikembangkan oleh murid Sunan Ampel, Imam Nawawi asal Banten. Yang pasti, huruf ini lahir dari kalangan pemuka agama Islam dan diajarkan secara umum di pesantren-pesantren selama masa penjajahan Kolonial Belanda. Pada masa itu, muncul fatwa yang menolak untuk menggunakan produk-produk penjajah, termasuk tulisan mereka. Maka kalangan ini menggunakan Pegon sebagai simbol perlawanan, juga sebagai bahasa sandi untuk mengelabuhi penjajah pada saat berkomunikasi dengan sesama anggota pesantren dan juga beberapa pahlawan Nasional yang berasal dari golongan santri. Dalam manuskrip dan literatur pesantren, huruf ini juga banyak ditemukan, seperti dalam Serat (Nabi) Yusup.
Ketika Kemal Attaturk menggulingkan kesultanan terakhir Utsmaniyah, huruf Pegonmengalami pergeseran oleh huruf Latin dan juga huruf Romawi, dimana hal tersebut diresmikan pada tahun 1950an di Singapura dalam sebuah kongres yang akhirnya melahirkan Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia. Saat itu, hampir semua penerbit Koran, majalah, dan buku terpaksa mengganti huruf Pegon dengan huruf Romawi, termasuk majalah At-Turats yang dikenal menggiatkan Pegon untuk semua tulisannya. Majalah ini memiliki gagasan bahwa matinya huruf Pegon adalah matinya Ulama.
Dikenal sebagai Pegon di Nusantara, huruf ini mendapat nama Huruf Jawi di Malaysia, namun secara luas dikenal sebagai huruf Arab Melayu karena huruf ini juga akhirnya menyebar hingga ke Brunei, Thailand, dan Filipina. Uniknya, meski digunakan untuk menulis kosakata Jawa, huruf ini tetap ditulis dari kanan ke kiri layaknya penulisan Arab, dengan kaidah penyambungan yang sama.
Sayang, saat ini huruf Pegon kian menghilang meski dulunya digunakan oleh berbagai lapisan masyarakat, dari kalangan kyai hingga sastrawan. Selain memang bersifat temporary (sementara), hilangnya Pegon juga karena kolonial Belanda menekan pergerakan perlawanan dari pesantren.
Meski pakem asli dari huruf Pegon tak pernah ditemukan, namun dalam beberapa buku daerah klasik dapat ditemukan huruf Pegon dengan karakter yang hampir sama satu sama lain. Dalam manuskrip Islam di Jawa kuno, huruf ini seringkali digunakan untuk menulis jenggotan, yakni terjemahan bahasa Jawa atas naskah berbahasa Arab.
Berikut daftar huruf Pegon, dengan penjelasan yang dilingkari merupakan penyesuaian huruf Arab dan Jawa:
Adapula huruf Pegon yang telah difontasikan oleh seorang santri asal Mlangi Yogyakarta bernama Alif Juman, yang dapat diunduh secara gratis DISINI.
……………………………………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA
Th. Pigeaud, Literature of Java. 1970.
B. Arps, Tembang in Two Traditions. 1992.
Titik Pudjiastuti, Sadjarah Banten.  2000.
Manuskrip Islam Pesantren, Pegon: Aksara Masyarakat Indonesia yang hilang. 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar